Dana Desa untuk Tanggulangi Bencana Terkendala Regulasi
https://www.apdesinews.com/2020/01/dana-desa-untuk-tanggulangi-bencana.html
APDESINEWS.COM- Menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,
Abdul Halim Iskandar menyebut, dana desa bisa digunakan untuk tanggap
darurat bencana. Abdul Halim menyampaikan itu di Yogyakarta, ketika
menghadiri acara sanggat inovasi desa, pada Minggu (5/12).
“Dari peta BNPB itu ada 50 ribu desa yang potensi bencana, makanya
kemudian di kebijakan Kementerian Desa, ada regulasi yang mengatur
dibolehkannya penggunaan dana desa untuk tanggap tanggap darurat
bencana, utamanya adalah untuk penyelamatan warga,” kata Abdul Halim.
Prioritas penggunaan dana desa dalam penanganan bencana, lanjut Abdul
Halim, adalah untuk penyelamatan. Kebijakan itu sesuai dengan keputusan
Presiden Jokowi, bahwa yang pertama dilakukan dalam kejadian bencana
adalah peyelamatan warga. Halim menambahkan, dana desa bisa digunakan
untuk pos itu, sesuai dengan aturan perundang-undangan yang sudah
ditetapkan.
Namun Halim tidak menguraikan lebih rinci ketentuan dalam penggunaan
dana desa ini. Dia hanya memastikan berulangkali, bahwa upaya tanggap
darurat di tingkat desa dapat menggunakan dana yang dikirimkan setiap
tahunnya oleh pemerintah pusat itu. Setiap desa di Indonesia, rata-rata
bisa menerima bantuan dana hingga Rp 1 miliar per tahun.
Kebijakan Sulit Diterapkan
Pernyataan Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar bahwa dana desa
bisa dipakai dalam tanggap darurat bencana, semestinya melegakan. Namun,
bagi Tomon Haryo Wirosobo kebijakan itu masih menyisakan ganjalan.
Tomon Haryo adalah kepala desa di Wonokerto, Kecamatan Turi, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa di ujung utara Yogyakarta ini masuk
dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) letusan Gunung Merapi. Tidak hanya
itu, seperti juga kawasan lain di Indonesia, desa ini juga terancam
bencana seperti puting beliung, tanah longsor, banjir lahar, dan tentu
saja letusan Merapi.
Dalam pelaksanaannya, kata Tomon Haryo, setiap dana desa turun,
pemerintah kabupaten menetapkan sejumlah program yang harus
dilaksanakan. Dana desa pun terkuras untuk program itu, sehingga
kewenangan desa dalam penentuan program dinilai Tomon Haryo tidak
terwujud. Pada berbagai pertemuan, pemerintah desa juga diyakinkan bahwa
persoalan bencana menjadi kewenangan pemerintah daerah.
“Bencana ini menjadi kewenangan kabupaten, meskipun kita berada di
daerah rawan bencana, tidak ada anggaran itu. Sampai hari ini saya belum
melihat, desa-desa di wilayah KRB yang menganggarkan dana untuk
bencana, karena semua bencana ditangani BPBD,” ujar Tomon Haryo yang
sudah empat tahun memimpin Desa Wonokerto.
Selama ini, ketika bencana terjadi di wilayah desa, Tomon Haryo lebih
sering menggunakan dana operasional kepala desa untuk bertindak. Tomon
Haryo juga mempertanyakan, pada pos anggaran apa dana kebencanaan bisa
masuk dalam sistem keuangan desa.
Kendala Birokrasi yang Mengganggu
Aktivis kemanusiaan dan pengamat kebencanaan, Hening Parlan menyebut,
penggunaan dana desa untuk menanggulangi bencana menyisakan persoalan
birokrasi dan teknokrasi dalam nomenklaturnya. Hening aktif di
Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC) dan telah menggeluti
bidang ini selama kurang lebih 20 tahun.
Hening menyebut, dana desa hanya bisa dikeluarkan melalui nomenklatur
yang telah disetujui di awal penyusunan anggaran. Jika akan dipakai
untuk kebencanaan, maka harus ada nomenklatur khusus. Dalam sistem
anggaran, dana ini dapat disebut sebagai dana siap pakai. Ketentuannya,
jika tidak terpakai tahun ini, maka dana dapat disimpan untuk dipakai
tahun berikutnya.
“Seharusnya di setiap desa, ada satu dana yang bisa diambil kapan
saja, sehingga dana ini bisa terpakai. Karena kalau kita mengikuti
birokrasi, mengeluarkan dana itu tidak mudah. Tidak ada satupun kepala
desa, camat atau bupati yang mau dipenjara karena mengeluarkan uang
untuk bencana. Sama-sama untuk kemanusiaan, tetapi di sini ada proses
birokrasi dan teknokrasi, ada waktunya, ada nomenklaturnya, tidak bisa
cepat,” ujar Hening. Dana semacam ini, tambah Hening, sudah ada di
tingkat pemerintah kabupatan/kota. Tetapi ujarnya lagi, di tingkat desa
belum biasa ditemukan.
Dalam beberapa kasus, kepala daerah juga memerlukan persetujuan DPRD
untuk penetapan anggaran bencana darurat. Sistem serupa, juga belum ada
di tingkat desa. Namun, tambah Hening, di luar berbagai persoalan itu,
desa memang harus disiapkan untuk menghadapi bencana.
“Kita harus bikin siap desa itu untuk, menyiapkan dirinya terhadap
resiko bencana. Karena dampak pertama bencana itu ada di desa. Kejadian
bencana tidak pernah bisa diprediksi, sehingga masyarakat desa setempat
harus siap dengan resiko, kalau daerahnya rawan bencana,” kata Hening.
Pemerintah, masyarakat dan pihak swasta harus bekerja sama dalam
upaya ini. Dalam kasus tertentu, dana sosial pihak swasta dapat
dijadikan jalan keluar darurat, karena dapat digunakan tanpa mengikuti
aturan birokrasi yang rumit dan panjang.
Hening juga berpesan agar perhatian tidak hanya diberikan dalam soal
pendanaan, tetapi juga mitigasi bencana. Warga desa harus memahami
potensi bencana di setiap wilayahnya, dan paham apa yang harus dilakukan
jika tanda-tanda bencana sudah terlihat. Semua bisa dibentuk melalui
pelatihan terus menerus.
BNPB sendiri menjadikan desa sebagai salah satu tulang punggung
penanggulangan bencana. Salah satunya melalui program Desa Tanggung
Bencana (Destana). Pada 2019 lalu, BNPB melakukan ekspedisi sepanjang
Pantai Selatan Pulau Jawa. Sebanyak 512 desa di jalur ini disadarkan
mengenai bahaya bencana tsunami yang mengintai mereka sewaktu-waktu. [ns/ab]
sumber : https://www.voaindonesia.com/a/dana-desa-untuk-tanggulangi-bencana-terkendala-regulasi/5235136.html
sumber : https://www.voaindonesia.com/a/dana-desa-untuk-tanggulangi-bencana-terkendala-regulasi/5235136.html